News

Fashion Force Awards: Batu Loncatan Bagi SARE Studio, Studio Moral, dan Massicot

Wednesday, 10 Nov 2021

by JFW

It’s quite sentimental, ya. Karena aku, tuh, show JFW tepat 27 Oktober 2017,” kata Andandika Surasetja, Co-Founder sekaligus Creative Director dari Moral membuka percakapan kami tentang Fashion Force Awards (FFA). Wawancara kami rupanya tepat empat tahun setelah brand yang ia gagas memenangkan kategori Most Innovative Local Brand dari Fashion Force Awards yang kala itu bernama CLEO Fashion Awards (CFA). 

Sejak awal mendirikan Moral, Andandika sudah menargetkan untuk menjadi bagian dari CLEO Fashion Awards. “Waktu itu aku melihat senior-seniorku yang punya brand. Misalnya Iki (Raiki Pasha) di Hunting Fields, terus Danjyo Hiyoji itu semua, kan, alumni CFA. So I really wanna be one of them,” ujarnya.

Akhirnya pada 2016, tiga tahun setelah Moral digagas, Anandika mulai memperkenalkan brand garapannya ke Margaretha Untoro yang kala itu merupakan Editor in Chief majalah CLEO, dan Nandya Gita, Fashion Editor CLEO. Namun, Moral baru mendapatkan kesempatan terlibat dalam Fashion Force Awards pada 2017.

Salah satu alasannya, panelis juri ketika itu ingin memastikan bahwa brand atau desainer yang dipilih memang mempunyai ketahanan bisnis. Perihal ketahanan itu rupanya baru mulai dilihat panelis juri dari Moral pada 2017.

Lain lagi dengan cerita Amanda Mitsuri, Founder sekaligus Creative Director brand aksesori Massicot. Perkenalannya dengan ajang CLEO Fashion Awards terjalin di Trademark Bandung, bazar brand lokal di kota kembang. Pada momen itulah koleksi Massicot menarik perhatian Margaretha Untoro dan ditawarkan untuk mengikuti CFA. 

Bagi Amanda saat itu, mengikuti CFA adalah sebuah peluang. “Waktu itu bisnis kami utamanya direct to customer. Ketika melihat [CFA] yang ajangnya di JFW itu kami melihatnya sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri ke B2B business,” jelas Amanda lewat sambungan telepon. 

Yang teranyar, ada Cempaka Asriani dan Putri Andam Dewi, duo dinamis di belakang SARE Studio yang menyabet gelar Most Innovative Local Brand Fashion Force Awards 2020 silam. Pamor SARE yang meningkat pesat selama pandemi membuatnya menarik perhatian panel juri ketika itu.

Pilihan produk SARE yang fokus pada loungewear dan wellness dianggap sebagai sebuah inovasi yang relevan di tengah situasi pandemi. “Jadi kayak visi kita pas banget,” kata Andam. 

Menggali Kemantapan Model Bisnis

Dari seluruh proses Fashion Force Awards, ada satu hal utama yang terus digali panel juri dari para peserta: kemantapan model bisnis. Selain tentu saja menguji kembali kematangan desain dan presentasi. Akan tetapi perihal kemantapan model bisnis menjadi satu benang merah yang selalu ditekankan di setiap seri Fashion Force Awards.

Proses ini tentu saja membuahkan cara pandang baru bagi para peserta. Amanda misalnya yang jadi lebih peka terhadap pasar dan komunitasnya. “Makin punya konsep brand dan konsep market yang lebih tajam,” lanjut Amanda.

Begitu pula bagi Cempaka dan Andam. Keduanya memang punya mimpi besar untuk mengembangkan SARE Studio melampaui loungewear dan sleepwear, dan proses Fashion Force Awards ini kian memantapkan mereka meniti langkah ke sana. 

Hal senada juga dirasakan Anandika. Pertanyaan-pertanyaan seputar keberlangsungan brand-nya sebagai sebuah bisnis menjadi pelajaran yang ia pegang sampai hari ini. Apalagi ketika kemudian ia diumumkan sebagai pemenang Most Innovative Local Brand Fashion Force Awards 2017. Kemenangan itu katanya, membutuhkan pertanggungjawaban.

“Karena misalnya setelah aku menang lalu brand-nya hilang, atau aku enggak bisa run the business artinya aku sudah menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah diberikan ke aku,” jelas Anandika. 

Apalagi tidak bisa dimungkiri, keikutsertaan brand atau desainer pendatang baru di ajang Fashion Force Awards juga menempatkan mereka di bawah sorotan lampu. Begitu banyak perhatian tercurah dan kesempatan yang terbuka setelahnya. Setidaknya begitulah pengalaman Anandika dan Amanda dengan brand mereka masing-masing setelah 'lulus' dari Fashion Force Awards.

FFA Penanda Legitimasi

Pertanyaannya kemudian, apakah ajang penghargaan semacam ini masih relevan dengan ekosistem industri yang kian demokratis? “Kalau menurutku sampai kapan pun akan terus relevan,” jawab Anandika penuh keyakinan. 

Hal utama yang patut diapresiasi dari Fashion Force Awards adalah panel jurinya yang beragam dan mewakili berbagai stakeholder di industri fashion. “Semuanya pelaku industri, semuanya tahu standarisasinya seperti apa. Masukan mereka jadi semacam masukan ahli,” lanjut Anandika. Pun bagi brand dan desainer yang baru terjun ke industri, platform Fashion Force Awards juga dapat membantu menggali serta mengasah potensi yang mereka miliki. 

Tidak hanya itu, Cempaka dan Andam juga mengakui feedback dari para pelaku industri di panel juri menjadi hal yang mereka butuhkan dan mahal harganya. Ibaratnya, itu adalah momen mereka melakukan reality check. “Most of the time we lost in production and sales. Tapi apakah kita melakukan hal yang benar? Nah, itu kami butuh approval dari industri. Ini adalah salah satu manfaat [FFA],” jelas Cempaka. 

Pun FFA yang berada di bawah naungan Jakarta Fashion Week jelas memberikan semacam stamp of quality bagi para pesertanya. Terutama dari segi orisinalitas dan kematangan desain. Bagi Amanda, hal ini justru semakin penting hari ini saat semua orang bisa mengklaim diri sebagai seorang desainer.

“Nah, justru platform ini bisa mengkurasi brand dan desainer mana yang memang punya desain orisinal,” katanya. Ia berharap Fashion Force Awards bisa menjadi inkubator bagi para brand dan desainer lokal untuk mengembangkan sayap mereka.

Pada akhirnya, ketiga alumni Fashion Force Awards ini sepakat, yang paling berkesan dari pengalaman mereka bukanlah kemenangannya, melainkan keseluruhan proses yang dilalui dan feedback yang didapat dari itu semua. 

Tahun ini, Fashion Force Awards akan kembali hadir di panggung Jakarta Fashion Week 2022. Nantikan gelarannya, segera!

(Foto: Arsip JFW, Arsip Moral)