News

Momen Penting Lomba Perancang Mode Bagi Denny Wirawan, Jeffry Tan, dan Lulu Lutfi Labibi

Thursday, 21 Oct 2021

by JFW

Saat Jeffry Tan memutuskan mengikuti Lomba Perancang Mode 2005, itu bukan kali pertama ia mengadu skill mendesain pakaian di ajang kompetisi. Sebelumnya, ia sudah mencicipi kompetisi tingkat ASEAN, yaitu Young ASEAN Fashion Design Contest 2003 di Singapura. Tetap saja Lomba Perancang Mode punya kesan tersendiri bagi Jeffry.

Ia ingat rancangan yang diikutkan kompetisi saati itu terinspirasi dari film Wong Kar Wai, 2046. “Waktu itu jurinya ada Mbak Nia Dinata dan dia sepertinya aware [dengan referensinya],” kenangnya.

Dari pengalaman mengikuti kompetisi-kompetisi tersebut, ia bercerita bagaimana dirinya jadi lebih ajek terjun ke industri fashion. “Dari segi development design, karakter brand, serta bisnisnya sendiri,” kata Jeffry. 


Meskipun memang ketiga hal itu seharusnya terus berproses, tetapi ajang kompetisi seperti LPM memberikan dasar yang cukup kuat, terutama lewat proses kurasi berlapis selama proses penjurian.

Sementara Lulu Lutfi Labibi ingat betul bagaimana ia menemukan esensi kekaryaannya dalam proses mengikuti LPM. Ia ingat, kala itu Priyo Oktaviano adalah salah satu jurinya. Priyo adalah salah satu sosok desainer Indonesia yang dikagumi Lulu. 

“Ketika presentasi awal saya bilang ingin mendesain sesuatu yang realistis. Bahwa pakaian itu selain unik, [akhirnya] harus bisa dipakai. Bahkan di segala kesempatan,” kata Lulu. Maka lahirlah top dress yang kini identik dengan desain-desain Lulu dan dikenakan oleh banyak orang.


Denny Wirawan pun mengakui bagaimana LPM mendorongnya mematangkan desain-desainnya. Sebagai desainer dari Surabaya, ia sempat merasa tertinggal dibandingkan dengan desainer dari Jakarta. “Di mata saya ketika itu orang Jakarta keren,” kata Denny.

Pengalaman ini terutama ia rasakan ketika pertama kali mengikuti LPM pada 1991. Saat itu ia berhasil masuk sebagai finalis dan berhasil menjadi pemenang kedua. Kesempatan itu ia jadikan sebuah pembelajaran besar.

“Dari kritik-kritik tersebut saya menyadari, kekurangan saya adalah soal taste,” lanjutnya. Maksudnya adalah eksplorasi desainnya ketika itu yang belum luas. Selain dari kritik, ia juga menyerap bagaimana peserta lainnya saat itu mengembangkan desain mereka. “Saya lihat juga finalis kanan-kiri, oh iya, bisa dibikin kayak gitu.”


Hal-hal itulah yang menancap di pikirannya dan ia bawa ketika mengikuti lagi LPM pada 1993. “Semua pelajaran yang saya dapat sebelumnya, saya tebus di lomba kedua sampai akhirnya menang, hahaha,” kenangnya.

Meski demikian, prosesnya tidak terjadi dalam semalam. Lepas mengikuti LPM pada 1991, Denny membulatkan diri pergi ke Jakarta. Di Ibu Kota, ia melanjutkan pendidikan di sekolah desain Susan Budihardjo sembari bekerja di rumah mode Prajudi Admodirjo. “Kerja pagi, sore sekolah,” kenang Denny.

Di kedua tempat inilah Denny mengasah kemampuan desainnya. Didorong LPM, berbekal niat, dan ketekunan mengasah keterampilan, Denny Wirawan bukan hanya berhasil mencentang salah satu mimpinya menjadi pemenang LPM. Ia juga berhasil mengembangkan diri sebagai salah satu desainer kenamaan tanah air. 

(Foto: Arsip Dewi, Arsip Lulu Lutfi Labibi, Arsip Denny Wirawan)