News

Melestarikan Ibu Pertiwi Melalui Mode Berkelanjutan

Tuesday, 16 Feb 2016

by JFW

Mode berkelanjutan atau “sustainable fashion”, juga disebut “eco fashion”, merupakan bagian dari perkembangan filosofi desain dan maraknya tema keberlanjutan yang fokus pada dampak manusia terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial. Hal ini merupakan bagian dari tren desain berkelanjutan di mana produk dibuat dan diproduksi dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial yang mungkin ditimbulkan selama rentang keberadaannya. Dalam artikel di Vogue edisi 197 Mei 2007, Sally Singer dan Robert Sullivan menyatakan bahwa mode berkelanjutan "...tidak muncul hanya untuk menjadi tren jangka pendek melainkan tren yang bisa bertahan beberapa musim".
 
Pada tanggal 20 April 2008, organisasi non-profit terkait pembangunan berkelanjutan, Earth Pledge, menyatakan bahwa setidaknya ada 8.000 bahan kimia yang digunakan untuk mengubah bahan baku menjadi tekstil dan 25% dari pestisida dunia digunakan untuk menanam kapas non-organik. Hal ini menyebabkan kerusakan yang sulit dipulihkan, dan ditambah lagi dua pertiga dari jejak karbon pakaian baru akan timbul setelah pakaian itu dibeli. Karenanya penggunaan bahan yang mendukung keberlanjutan serta menghasilkan lebih sedikit  jejak karbon dan dampak negatif ketenagakerjaan, seperti serat alami, selulosa, protein, dan serat-serat daur ulang atau buatan yang ramah lingkungan, sangat ditekankan dalam sustainable fashion.
 
Sudah banyak desainer yang berusaha mengggabungkan pembuatan pakaian modern dengan praktik perlindungan lingkungan, misalnya saja Stella McCartney dan WabiSabi. Karena dibutuhkan banyak usaha untuk meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan dalam pembuatan maupun pengiriman produk ataupun barang baku, produk fashion berkelanjutan biasanya lebih mahal dibanding produk yang dibuat secara konvensional. Hal itu yang akan menjadi tantangan utama desainer untuk menerapkan fashion berkelanjutan, terutama di Indonesia.
 
Tahun kemarin, di panggung peragaan, melenggang busana karya Merdi Sihombing, Friedrich Hermann, dan Restu Anggraini dengan tajuk "Beginning of Ethical Fashion", menyusul sebuah acara bincang-bincang dengan tajuk yang sama, dipersembahkan oleh Kementrian Perindustrian. Kemudian, bekerja sama dengan British Council dan Majalah Dewi, Jakarta Fashion Week menghadirkan Lucy Siegl sebagai pembicara dalam "Sustainable Fashion Forum" bersama Badan Ekonomi Kreatif, Dian Pelangi, Nelly Rose Stewart, dan Odette Steele.

Sebagai tambahan, diadakan juga pemutaran "The True Cost" bersama majalah Cita Cinta, sebuah film dokumenter yang diproduseri secara eksklusif oleh Siegl. Film yang disutradarai Andrew Morgan ini menyingkap kenyataan pahit dan buruk di balik panggung gemerlap mode dunia, terutama fast fashion. Tahun 2016 diharapkan bisa menjadi titik balik dunia fashion, baik para pelaku maupun penikmatnya, untuk lebih memikirkan serta melindungi keberlangsungan alam yang sama-sama kita tinggali ini.

Penulis: Zea Zabrizkie