News

Tips Mengangkat Akar Budaya Menjadi Identitas Merek Dari Istituto Marangoni

Friday, 26 Apr 2019

by Zea Zabrizkie

"Karya-karya terbaik mahasiswa-mahasiswa saya, tidak peduli dari mana asal mereka, adalah sesuatu yang dekat dengan rumah. Entah sesuatu yang tradisional, atau sesederhana gaya berpakaian neneknya saat membuka-buka album keluarga lama," ungkap Mevin Murden, Director of Education Istituto Marangoni Shanghai, saat memulai sesi dengan media sebelum workshopnya hari Rabu (24/04/2019) lalu di Fashionlink x #BLCKVNUE, Senayan City, Jakarta.



Dalam workshop yang diselenggarakan melalui kolaborasi antara Istituto Marangoni dan Jakarta Fashion Week dengan tajuk "Crafting Future: Creating a Strong Brand Identity by Leveraging One's Own Cultural Heritage" ini, Murden menjabarkan beberapa poin penting dalam mengenali identitas merek untuk meningkatkan daya jual. "Kerjasama dengan Istituto Marangoni sudah kami jalani sejak lama, terutama karena kami juga terus mendapat pengetahuan menarik setiap kali ada keterlibatan Marangoni. Misalnya di Lomba Perancang Mode dan Lomba Perancang Mode Menswear," ujar Lenni Tedja, Director of Jakarta Fashion Week.



Menurut Murden, target pasar yang semakin muda ini memiliki kecenderungan yang berbeda dengan generas-generasi penikmat fashion yang terdahulu. Katakanlah generasi milenial dan Gen Z yang merupakan social media natives. Mereka tidak lagi membeli suatu barang karena gengsi atau nama desainer yang prestisius, namun juga karena narasinya.

"Mereka ingin cerita tentang perjalanan pembuatannya, mereka ingin tahu apakah produk ini ramah lingkungan, mereka menggali informasi apakah desainer bersangkutan sudah memberikan kesejahteraan bagi pekerjanya," ujar Murden.



Menghadapi pasar yang menuntut kemampuan story telling, maka mengangkat sesuatu yang paling lekat dengan diri sendiri adalah salah satu jalan yang paling masuk akal untuk diangkat. "Seperti orang Jerman terkenal dengan presisi otomotifnya, orang Perancis dengan kulinernya, dan orang Skandinavia dengan furnitur minimalisnya, gali satu akar budaya yang paling dekat dengan kalian. Bisa juga sesuatu yang mendekati identitas diri kalian, misalnya Mary Kantrantzou yang memulai studinya sebagai arsitek. Hingga sekarang, desainnya kental dengan pengaruh arsitektur dan geometri," tambah Murden lagi.



Untuk desainer asal Indonesia, akar budaya yang bisa diangkat tidak hanya Batik belaka, namun juga disesuaikan dengan asalnya masing-masing. "Italia bagian selatan dan utara saja bisa berbeda jauh dalam segi gaya dan budaya, Italia bagian selatan punya banyak pantai dan busana mereka lebih berwarna dan lebih kasual dibanding mereka yang berasal dari utara. Jadi jangan tergantung pada stereotip saja, benar-benar temukan identitas budaya yang dekat dengan kamu," tutup Murden.