Cita Tenun Indonesia: Menenun Ruang Ambang dalam “Liminal”
Runway Jakarta Fashion Week 2026 pada Rabu sore, 29 Oktober 2025, seolah menyingkap kisah yang tersimpan di balik setiap helai benang tenun saat Cita Tenun Indonesia (CTI) mengundang audiens untuk menapaki batas antara masa lalu dan masa kini. Melalui presentasi mode bertema “Liminal”, CTI membuka sebuah ruang ambang di mana tradisi berdialog dengan inovasi, dan warisan budaya menemukan bentuk barunya.
Lebih dari sebuah peragaan busana, “Liminal” menjadi perayaan keberlanjutan tenun sebagai ekspresi budaya yang terus hidup. Empat label mode Indonesia, yaitu The Rizkianto, MORAL, Danny Satriadi, dan Wilsen Willim, diundang untuk menafsirkan kembali tenun melalui bahasa desain masing-masing, menciptakan percakapan lintas generasi yang memaknai ulang hubungan antara tubuh, kain, dan identitas.

Tradisi dalam Ambang Baru
Didirikan pada 2008, Cita Tenun Indonesia telah lama menjadi garda depan pelestarian dan pemberdayaan perajin tenun di berbagai penjuru Nusantara. Melalui program pembinaan, sertifikasi profesi, dan kolaborasi kreatif, CTI berupaya agar tenun tidak berhenti sebagai artefak budaya, melainkan terus menjadi sumber kehidupan, kebanggaan, dan inspirasi.
Tahun ini, CTI berkolaborasi dengan Yayasan Kawan Lama dalam program Aram Berkelala Tenun Iban, sebuah inisiatif yang menghidupkan kembali teknik tenun ikat dan tenun sidan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Program ini juga meneguhkan peran perempuan Dayak Iban sebagai penjaga tradisi dan penggerak ekonomi lokal. Karya para penenun binaan CTI dan Yayasan Kawan Lama ini pun turut menjadi bagian dari perayaan “Liminal”.
Kembali ke Rumah lewat ‘Casa’
Membuka peragaan, The Rizkianto menghadirkan koleksi ‘Casa’. Untuk koleksi ini, Creative Director Dery Rizkianto menggunakan Tenun Garut dalam rancangan haute couture kontemporer yang menunjukkan craftmanship tinggi. Motif polkadot dibentuk menggunakan benang metalik berwarna champagne gold dengan dasar hitam. Dengan memanfaatkan dua warna ini saja, The Rizkianto menciptakan 12 look elegan, glamor, dan terstruktur yang membuat audiens jatuh hati.

‘Casa’ menjadi sebuah perjalanan pulang ke akar dari Dery yang belajar fashion dan berbisnis di Milan. Menggunakan kain Tenun Garut untuk gaun malam, gaun cocktail, jaket, dan rok merupakan tantangan bagi Dery karena ia harus mengelevasi wastra ini untuk punya daya tarik global. Lewat ‘Casa’, Dery ingin menunjukkan bahwa wastra tradisional dapat hidup harmonis dalam lanskap mode global, tanpa kehilangan identitas lokalnya.
‘MORAL/tempo’, Ritme Perlawanan Wastra
Energi berganti menjadi lebih muda dan urban saat jenama MORAL menghadirkan koleksi ‘MORAL / tempo’ yang mengedepankan keberanian dan kejujuran. Bagi MORAL, wastra bukanlah sebuah warisan yang harus disakralkan dan masuk dalam kotak tradisional. Malah sebaliknya, dibawa berevolusi agar terus relevan dengan kondisi modern.

Untuk koleksi ini, MORAL mengolah Tenun Lombok dengan pendekatan eksperimental, memadukannya dengan materi kokoh berupa denim, kulit, dan aksesori logam yang identik dengan streetwear. Misalnya, cropped blazer yang terbuat dari Tenun Lombok dipadukan dengan kemeja putih dan celana denim, atau rok dekonstruktif berbahan Tenun Lombok yang dikenakan bertumpuk dengan celana denim dan long coat dari kulit beraksen duri.
Tiga belas look yang ditampilkan tampak tidak teratur sekaligus bold, terangkum dalam ritme penuh energi; menjadi simbol keberanian generasi muda dalam menafsirkan ulang akar budaya.
Paduan Wastra dan Filosofi Tionghoa dalam ‘Heavenly Creatures’
Dalam presentasi mode ini, Danny Satriadi mempersembahkan koleksi ‘Heavenly Creatures’ yang memadukan Tenun Songket Sambas dengan filosofi Tionghoa berupa dua belas shio, menggambarkan hubungan manusia dan alam semesta. Lewat pilihan tema ini, Danny merefleksikan masa depan mode Indonesia, yaitu mode yang berakar kuat pada budaya, tapi terbuka terhadap dunia.

Danny memuliakan keutuhan kain wastra dengan teknik draping yang meminimalkan pemotongan . Dominasi warna emas di 12 look tak hanya membuat koleksi ini tampak mewah dan elegan, tapi juga menyimbolkan keagungan dan kemakmuran, baik di masyarakat Indonesia dan Tionghoa. Wastra diberi napas kontemporer dengan penambahan detail bordir dan beading yang rumit, sementara rumbai, celana pipa lebar, dan lengan gembung memberi tampilan kekinian yang membuat koleksi ini relevan dengan generasi masa kini.
‘The Heart of Borneo’, Napas Baru Tenun Dayak Iban
Sebagai penutup, Wilsen Willim menghadirkan tafsir kontemporer atas Tenun Dayak Iban, wastra sakral dari Kalimantan, lewat koleksi ‘The Heart of Borneo’. Penggunaan Tenun Dayak Iban berangkat dari kegelisahan tentang kondisi ekonomi yang membuat praktik menenun mulai kehilangan ruang dalam kehidupan masyarakat Dayak Iban. Padahal, wastra ini merupakan simbol spiritual yang berakar pada animisme Dayak Iban.

Wilsen menghidupkan kembali Tenun Dayak Iban di runway JFW 2026 lewat rancangan modern yang mengadaptasi kemegahan gaya busana militer. Jaket-jaket militer, yang menjadi tren pada tahun ini, terlihat tegas dan kokoh tapi tetap feminin. Paduan berupa kemeja putih berkerah tinggi serta rok dan celana warna hitam membuat fokus audiens hanya tertuju pada kain tenun yang cantik. Dua belas look yang ditampilkan dengan mudah dipadupadankan menjadi busana kerja yang membuat perempuan terlihat powerful tanpa berlebihan.
“Liminal” menjadi penanda perjalanan Cita Tenun Indonesia yang dimulai dari akar tradisi ke ranah penciptaan yang lebih luas. Di tangan para desainer lintas generasi, tenun tidak hanya dipertahankan tetapi dihidupkan kembali, membuatnya menjadi jembatan antara yang lama dan yang baru, antara yang lokal dan global. Dalam ruang ambang itu, tenun menemukan napasnya yang abadi.
Dapatkan info terkini seputar pergelaran Jakarta Fashion Week 2026 di situs ini, juga bisa klik media sosial resmi Jakarta Fashion Week berikut ini: Instagram, Facebook, TikTok, Twitter, dan Pinterest. (JFW)
Leave a Reply