News

Misi Melestarikan Batik dari Garasi

Wednesday, 4 Sep 2013

by JFW

Berkat ketekunan Lisa Kurniawaty Mihardja, usaha batik yang berawal dari garasi rumah kini telah berhasil menyerap 300 karyawan dan menjangkau hingga pasar mancanegara. Ia pun menapaki kesuksesannya sebagai wanita wirausaha sekaligus ibu rumah tangga. Dua peran yang bisa ia lakoni dengan seimbang dan membuatnya menjadi wanita yang bahagia.   

Berasal dari keluarga berada dan memiliki seorang suami pengusaha tak lantas membuat Lisa berpangku tangan. Sempat bekerja sebelum menikah, namun suaminya, Suherman Mihardja, tak memberikan lampu hijau untuk ia terus bekerja. Lisa mengikuti keinginan suaminya.  “Tetapi, jauh di lubuk hati saya tahu kalau saya tidak bekerja, saya tidak bahagia,” katanya.

Saat itulah ide untuk berwirausaha mulai bermain di kepalanya. Jalan bisnisnya terbuka lebar ketika ia bertemu dengan Anita Asmaya Vanin, yang menjadi langganan Lisa untuk mendesain baju-baju batiknya. Anita yang bekerja di sebuah perusahaan batik berniat untuk berhenti dan memulai usaha batik sendiri. Melihat peluang yang ada dan kecintaannya pada kain tradisional Indonesia, Lisa pun bersedia menjadi penyandang dana. Tahun 2005, dengan modal awal Rp30 juta yang berasal dari tabungannya sendiri, ia membuka workshop jahit di garasi rumahnya. Saat itu ia hanya memiliki dua buah mesin jahit dengan dua penjahit.

Lisa sadar, dengan modal yang terbatas ia butuh konsep matang agar bisnisnya bisa berjalan. Sebagai wanita yang gemar mengenakan batik, Lisa merasa kesulitan untuk mencari batik yang cocok dengan karakter ibu muda seperti dirinya. Padahal, saat itu batik mulai digemari banyak orang dan usia penggemar batik kian muda. Berangkat dari hal tersebut, ia lantas mendesain batik yang lebih gaya dengan teknik warna dan gradasi serta desain kontemporer.

Di awal usahanya, produksi dan pemasaran menjadi hal yang sama-sama merepotkan ibu tiga anak ini. “Karena semua kami kerjakan sendiri, mulai dari memesan bahan, mengontrol kualitas jahitan, hingga mengirimkan ke toko-toko,” kata wanita yang sempat merahasiakan bisnis ini dari suaminya.

Sejak memutuskan untuk merintis bisnis sendiri, ia sadar   akan ada orang-orang yang bergantung hidup pada perusahaannya. Karena itu, Lisa pantang setengah-setengah dalam berusaha. Ia memutar otak agar bisnisnya ini bisa menghidupi karyawan dan keluarganya. Filosofi hidupnya dalam menjalankan bisnis ini adalah "always have big vision but try to start it small"

Namun, tantangan muncul ketika ia berusaha memperkenalkan visi besarnya yaitu batik dengan corak dan motif lebih kontemporer dan colorful. Lisa bercerita, tak banyak orang yang bisa menerima konsep batik generasi barunya ini. Meski begitu, ia gencar melakukan promosi dengan selalu menggunakan batik produksinya ke mana pun ia pergi. “Saat itu respons pasar cukup baik, tapi ada juga orang yang mempertanyakan apakah kreasi kami itu benar-benar batik,” kata Lisa,  yang memberi label Batik Allure untuk koleksinya. Tahun 2010, sebagai langkah untuk memasuki pasar internasional, brand Allure pun berganti nama menjadi Alleira.
 
Menanggapi semua hal, Lisa selalu bersikap tenang.  Ia pun menganggap kritik sebagai cambuk untuk terus memberikan kreasi terbaik. “Karena, pakem batik tetap kami pertahankan dengan menerapkan teknik batik tulis yang dikerjakan dengan  malam dan canting,” kata ibu dari 3 anak ini. (Faunda Liswijayanti/Femina)