News

Dokter Tirta, Mencari Uang dari Mencuci Sneaker (PART 1)

Thursday, 29 Aug 2019

by

Seorang influencer, memiliki 40 gerai shoe laundry, dan di lengannya penuh tato. Ia bukanlah tipe dokter yang biasa Anda jumpai. Sosok idealis ini mantap menjalankan bisnis yang bermuara pada urusan sneaker, namun menolak untuk membuat brand sneaker-nya sendiri.


Tirta Mandira Hudhi lebih dikenal sebagai dokter Tirta. Bukan, embel-embel “dokter” itu bukan sekadar panggilan seperti pada Dr. Dre. Ia memang seorang dokter jebolan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada angkatan 2009. Sejak kuliah ia sudah amat tertarik dengan sneaker, meski sebagai anak kuliahan yang ngekos, sneaker miliknya tidak selalu baru.

Saat salah seorang personel Blink 182, band idola Tirta saat itu, mendirikan brand sneaker Macbeth, ia cuma mampu membeli yang secondhand. “Nggak kuat beli baru,“ Tirta mengakui saat ditemui di Mal Kota Kasablanka, pertengahan Agustus, usai dirinya menjadi speaker di gelaran Jakarta Youth Meet-Up. “Karena barang bekas, saya cuci lagi,” sambungnya, “Beli bekas lagi, saya cuci lagi.”


Melihat apa yang ia lakukan, lama-lama banyak teman kos yang menitipkan sepatunya ke Tirta untuk dicucikan. Ia mencuci sepatu di emperan kosnya, di daerah Pogung, Yogyakarta, dekat kampus. Sampai akhirnya pada 12 Oktober 2013 Tirta memutuskan untuk membuka jasa cuci sepatu bernama Shoes and Care, yang dipasarkannya sebatas via situs jual beli online.

Ketika Gunung Kelud meletus pada Februari 2014, abu vulkaniknya sampai ke Yogyakarta. Tragedi ini justru membawa berkah bagi Tirta, karena bukan cuma rumah, jalanan, dan kendaraan yang tertutup abu hasil erupsi, melainkan hingga sepatu-sepatu warga. Ia lantas kebanjiran order membersihkan sepatu, dan foto before-after sepatu yang selesai ia cuci viral di media sosial.


Selain viral di dunia maya, dalam keseharian Tirta terbilang ‘viral’ di dunia nyata. Ia bergaul tidak cuma dengan sesama penyuka sneaker, tapi juga bergabung dengan komunitas sepeda motor dan komunitas musik. “Manusia diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus sosial,” kata pria kelahiran Karanganyar 28 tahun lalu ini dengan logat Jawa. “Kita harus berinteraksi dengan orang-orang. Meski tidak menjadi teman dekat, tapi setidaknya itu akan berguna suatu saat nanti. Dan memang, bisnis saya sekarang tak lepas dari dukungan mereka juga.”