News

Cerita Tulola Memberontak Lewat Kelembutan

Wednesday, 24 Nov 2021

by JFW

Dari sekian banyak kata, “rebel” mungkin bukan kata yang akan terlintas ketika membicarakan brand perhiasan Tulola. Namun, jika dirunut, sejak awal berdirinya perjalanan Tulola adalah perjalanan para perempuan mengklaim kebebasan mereka berekspresi lewat keterampilan.

Tulola, seperti yang banyak orang tahu adalah produsen perhiasan yang berbasis di Bali. Didirikan oleh Sri Luce-Rusna dan dikembangkan bersama Happy Salma dan Franka Franklin, Tulola mendulang popularitas sebagai salah satu produsen perhiasan yang mendefinisikan garis desain serta teknik tradisional ke dalam konteks modern. 

Dikepalai tiga perempuan papan atas, pemberdayaan perempuan menjadi isu utama yang sering dibicarakan ketiganya di berbagai media. Yang membuatnya berbeda adalah mengapa dan bagaimana Tulola melihat pemberdayaan perempuan. 

Di tempat asalnya di Pulau Dewata, ada batas-batas yang ajeg bagi perempuan dan laki-laki untuk mengekspresikan diri mereka lewat seni. Dunia kerajinan atau hasta karya, apa pun mediumnya: kayu, musik, lukisan, emas, atau perak adalah milik para lelaki, sementara perempuan ditempatkan hanya sebagai penari.

“Ibuku sejak dulu sudah sangat [vokal] tentang hal ini, bagaimana perempuan seharusnya diizinkan untuk punya medium ekspresi yang lebih luas di luar tari-menari,” kata Sri lewat sambungan video call. Sebagai penerus bisnis sekaligus keterampilan sang ibu, Sri pun ikut meneruskan semangat itu.

Kini, bersama Tulola ia membuka ruang untuk para perempuan mengasah kemampuan sebagai pengrajin emas dan perak. Seiring waktu, usahanya ini membuahkan hasil. Dari mulanya seluruh pengrajin lokal yang bekerja sama dengan Tulola adalah laki-laki, kini ada 5 perempuan pengrajin yang sudah secara rutin terlibat dalam produksi utama Tulola. Jumlah itu di luar program pelatihan bagi perempuan yang berada di lingkup komunitas pengrajin partner Tulola. 

Sri menceritakan program pelatihannya ini tidak mudah diterima oleh para pengrajin tradisional yang cenderung masih ajeg memegang tradisi lama. Sejak awal antara merengkuh tradisi dan mengembuskan napas modern adalah dua hal yang coba diseimbangkan oleh Sri. Tidak hanya dalam hal program pelatihan untuk perempuan pengrajin, tetapi juga dari sisi pembuatan desain.

Lima belas tahun yang lalu, saat Sri memulai perjalanan Tulola, amat sulit baginya menemukan pengrajin yang bisa mewujudkan visinya. “Awalnya sangat sulit untuk menemukan pengrajin yang bisa berkolaborasi karena waktu itu para pengrajin masih sangat baku dengan nilai-nilai tradisional, termasuk soal desain,” ujar Sri.

Keinginan untuk mengeksplorasi motif-motif tradisional sering kali mentok dengan pakem-pakem yang berlaku. Di sisi lain, pakem-pakem yang ada turun-menurun ini telah lama menjadi sedikit, kalau bukan satu-satunya, referensi para pengrajin tradisional. Sehingga tawaran eksplorasi desain yang baru menjadi sesuatu yang sulit dibayangkan. 

Toh, tantangan itu terjawab seiring waktu. Dimulai dengan enam pengrajin awal, Sri meniti langkahnya dengan membuat serangkaian sample. Lima belas tahun yang lalu, mereka adalah pengrajin yang tergolong muda. Hari ini, keenamnya masih turut bekerja bersama Sri untuk menghasilkan karya-karya cantik nan halus yang menjadi ciri khas Tulola. 

Setelah tim pengrajin awal ini menyelesaikan koleksi-koleksi awal Tulola, barulah proses Sri menjaring pengrajin-pengrajin lain menjadi lebih mudah. “Setelah ada hasil jadinya itu jadi lebih jelas visinya dan lebih mudah untuk mengajak [pengrajin] untuk berkolaborasi,” kata Sri. 

Usahanya bekerja sama dengan para pengrajin lokal cukup berhasil. Dari hanya menggandeng enam pengrajin, hingga sebelum pandemi Tulola punya 80 pengrajin yang berkolaborasi langsung dengan Sri. Tantangannya kemudian bagaimana menyeimbangkan antara proses kerajinan emas dan perak tradisional yang cukup memakan waktu dengan siklus industri yang bergerak begitu cepat.

“Saya pikir kami cukup beruntung karena bisnis kami yang terintegrasi sehingga kami bisa mengatur alur produksi dengan cukup ketat. Baik itu proses desain, produksi, hingga cara kami merilisnya ke customer,” kata Sri. Di satu sisi ada tim studio yang melakukan perencanaan koleksi dari jauh-jauh hari sebelum dirilis dan di sisi lain ada tim yang berusaha untuk terus memutar roda bisnis. “Keduanya beroperasi dalam rentang waktu dan psikologi yang berbeda, hahaha.”

Hal itu tentu sering menyebabkan benturan antara keduanya. Ada sisi di mana Tulola ingin menjamah klien-klien retail dan wholesale. “Tapi itu berarti kami melepas sebagian kontrol kami dan mungkin akan berkompromi dengn komitmen kami terhadap slow production. Jadi masih ada dilema itu,” jelasnya.

Tantangan Membangun Ulang Komunitas

Di tengah itu semua, pandemi lantas menghajar bisnis dan menghadirkan pekerjaan rumah baru bagi Sri dan tim Tulola. Sebagaimana kebanyakan bisnis di sektor fashion, Tulola juga mengalami pukulan yang cukup berat. Hal ini berdampak terhadap dukungan serta jalinan kerja sama dengan berbagai pengrajin lokal yang selama ini berkolaborasi bersama Tulola.

“Tiba-tiba produksi kami berhenti dalam jangka waktu yang cukup lama. Ini membuat banyak dari mereka yang kemudian alih pekerjaan untuk tetap hidup. Jadi banyak sekali pengrajin yang meninggalkan industri ini,” katanya. 

Dari total sekitar 80 pengrajin perak yang bekerja bersamanya, kini jumlah itu tengah menurun ke angka 40 pengrajin. Itu mengapa saat ini Sri bersama timnya di Tulola tengah berusaha untuk membangun jejaringnya kembali. Tentu saja bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi lanskap industri di mana Tulola beroperasi secara bisnis, pun ekosistem pengrajin lokal di Bali kini sudah berubah secara signifikan. “There’s actually no going back to what it was before [pandemic]. It's a completely different thing. Sekarang orang punya prioritas yang berbeda [customer dan pengrajin]. I think it almost feels like building something new,” katanya lagi. 

Proses ini dijalani Sri dengan perspektif yang baru, bahwa apa yang dilakukannya untuk melestarikan budaya bukan hanya tentang motif dan teknik kerajinan, tetapi juga kemaslahatan para pelakunya. Khususnya para pengrajin lokal yang selama ini bekerja bersamanya selama belasan tahun. 

“Kita jadi melihat segala sesuatu secara lebih menyeluruh, sehingga penting untuk mempunyai tujuan yang lebih mendalam,” katanya. Hasil refleksinya terutama tentang kelindan antara tiap-tiap kita. Hal yang juga menjadi inspirasi utamanya dalam merancang koleksi terbaru Tulola untuk gelaran Dewi Fashion Knights di Jakarta Fashion Weeks 2022.