News

In Retrospect: Perjalanan Mengasuh Talenta Muda dalam Lomba Perancang Mode

Thursday, 30 Sep 2021

by JFW

Dalam 42 tahun perjalanannya, Lomba Perancang Mode (LPM) adalah tentang menemukan dan mengasuh talenta muda di dunia fashion Tanah Air. Sejak pertama kali digelar pada 1979, empat dekade kemudian LPM masih konsisten hadir dan misi yang sama—meskipun dengan wajah yang berbeda seiring pergerakan zaman.

Saat pertama kali diinisiasi oleh Pia Alisjahbana, LPM hadir untuk menciptakan ruang tumbuh bagi para desainer muda. Perhatian ini muncul dari kebutuhan Majalah Femina menawarkan gaya yang lebih beragam di halaman majalahnya pada masa itu. “Waktu itu (1970-an) desainer lokal yang muncul di majalah Femina itu-itu saja, baju dari desainer luar pun masih terbatas. Sekolah fashion juga belum banyak,” jelas Zornia Harisantoso, Ketua Pelaksana LPM 2021 tentang ekosistem fashion Indonesia pada dekade 1970-an. 

"LPM hadir untuk menciptakan ruang tumbuh bagi para desainer muda"


Saat itu, untuk eksis di ekosistem fashion Indonesia menjadi terasa begitu sulit dan ekslusif. Maka dari staganansi tersebut lahir ruang baru untuk talenta-talenta baru yang belum punya koneksi atau jaringan di dunia fashion. “Supaya mereka tetap bisa bersinar dengan bakatnya,” lanjut Zornia.

Dari lomba merancang busana perempuan, LPM berkembang bersama dengan perkembangan ekosistem fashion Indonesia. Saat talenta di ranah busana perempuan dilihat sudah mulai bergeliat, LPM menciptakan ruang baru untuk perancang aksesori lewat Lomba Perancang Aksesori (LPA) pada 2008. Selanjutnya, melihat ekosistem fashion yang kian cair, LPM juga memberikan ruang bagi para perancang busana laki-laki lewat LPM Menswear pada 2017. 



Menciptakan Ruang, Membuka Kesempatan

Kini LPM hadir di tengah ekosistem yang amat berbeda dengan saat ia muncul pertama kali. Saat itu, LPM menawarkan pintu masuk ekosistem fashion yang lebih luas. Kemenangan di kompetisi fashion ini membuka kesempatan bagi para desainer muda untuk tampil di halaman majalah perempuan yang kala itu merupakan medium utama informasi terkait mode.

Memang, arus informasi seputar fashion telah bergeser seiring zaman. Saat ini, LPM tetap membukakan pintu kesempatan bagi para finalisnya untuk tampil di pergelaran fashion bergengsi Jakarta Fashion Week. 

Mengasuh talenta baru bukan hanya soal membukakan kesempatan, tetapi terutama adalah tentang memupuk pengetahuan tentang industri fashion, salah satunya dilakukan lewat proses kurasi serta penjurian yang ketat dan serius. “Biarpun [dari tahun ke tahun] timnya berbeda, proses kurasi selalu serius. Mulai dari pemilihan tema yang terarah hingga kriteria pemilihan,” jelas Zornia. Hasil kurasi serta penjurian tersebut lantas menjadi feedback dan memberikan perspektif baru tentang hal apa yang sebetulnya diperlukan untuk eksis di dunia fashion Indonesia.



Selain lewat kurasi, LPM memberikan kesempatan bagi pemenangnya untuk menggali pengetahuan yang lebih dalam tentang industri fashion. Harapannya, agar mereka bisa terus berkarier di dunia fashion. “Tidak harus sebagai desainer, mungkin juga nantinya malah menjadi pemilik butik multi-brand,” ujar Zornia. Itulah sebabnya dari tahun ke tahun LPM turut menggandeng sekolah fashion legendaris yaitu Istituto Marangoni yang berbasis di Milan, Italia, sebagai salah satu partner-nya.

Tidak hanya lembaga pendidikan fashion, dari tahun ke tahun LPM juga kerap menggandeng institusi-institusi yang relevan dengan perkembangan ekosistem fashion Tanah Air. Tahun ini, LPM turut menggandeng Lazada dan Asia Pacific Rayon seiring dengan meningkatnya kebutuhan pengetahuan tentang alternatif material fashion serta bisnis busana di e-commerce. 

Pada intinya, LPM menjelma menjadi sebuah platform tempat para talenta baru mengasah diri. Bukan hanya soal craftmanship, melainkan juga pengetahuan mereka tentang lingkup fashion Indonesia.