News

Kisah di Balik Megahnya Panggung Dewi Fashion Knights

Thursday, 14 Oct 2021

by JFW

Malam itu, tenda hitam ikonis Jakarta Fashion Week penuh sesak oleh berbagai macam orang. Fashion people. Selebritas, model, editor papan atas, influencer, wartawan, semua tumpah ruah menantikan pergelaran pamungkas Jakarta Fashion Week (JFW) 2017, Dewi Fashion Knights.

Itulah saat saya pertama kali berkesempatan menyaksikan langsung Dewi Fashion Knights. Saya yang kala itu bukan siapa-siapa—sekadar anak kuliah yang kebetulan cukup beruntung menjadi ghost writer salah satu influencer kolaborator JFW—begitu takjub dengan segala gegap gempita Dewi Fashion Knights 2016.

Malam itu saya menyaksikan langsung karya para kesatria mode yang tampil: Toton, Felicia Budi, Didi Budiardjo, Vinora, Sapto Djojokartiko, dan Major Minor Maha. Luar biasa. Deretan koleksi yang cemerlang itu terus melekat di memori saya. Bahkan sampai hari ini. Pergelaran itu mengaspirasi saya menulis banyak hal tentang industri dengan begitu banyak lapisan ini. 

Sejak pertama kali digelar pada 2008, Dewi Fashion Knights memang diposisikan sebagai panggung puncak perayaan fashion Indonesia. Tidak sembarang desainer punya kesempatan tampil di panggung ini. Konsistensi, karakter, dan kepiawaian teknik menjadi pertimbangan.

Saat saya berkesempatan menjadi bagian redaksi Dewi, Margaretha Untoro, Editor-in-Chief saat itu menceritakan bagaimana penyelenggaraan DFK dimulai bahkan setahun sebelum malam penuh keglamoran tersebut digelar.

Pertama-tama tema dipilih sesuai dengan perkembangan ekosistem fashion setahun ke depan. Tentu agar koleksi yang ditampilkan saat malam DFK nanti tetap relevan dengan khalayak. Pemilihan tema ini juga krusial karena ini adalah semacam 'sikap' DFK terhadap perkembangan ekosistem fashion dan sebuah tantangan bagi para kesatria fashion terpilih untuk merespons hal tersebut.

Pekerjaan rumah selanjutnya adalah menyeleksi desainer untuk menciptakan dan menampilkan karya mereka di gelaran DFK. Rekam jejak dan kematangan desainer dalam berkarya menjadi dua aspek utama dalam pemilihan desainer. Ditambah kesesuaian karakter desain dengan tema yang dipilih.

Selanjutnya adalah persiapan. ‘Kolaborasi’ adalah kata kunci, sebagaimana disampaikan Svida Alisjahbana selaku CEO GCM Group, penyelenggara JFW. Semua orang yang terlibat, mulai dari make-up director, pengarah gaya, show manager, asisten desainer. Semua. 

Dalam suatu kesempatan, Panca Makmum, Show Director DFK 2019, menceritakan bagaimana ia sudah menyiapkan konsep peragaan busana dari jauh-jauh hari. Visinya bahkan sudah terbentuk sesaat sejak tema dicetuskan.

Lebih dari Pergelaran Busana

Dewi Fashion Knights bukan hanya tentang pagelaran busana. DFK berarti banyak hal bagi banyak orang. Bagi para desainer, panggung DFK adalah sebuah aspirasi dan tolok ukur kualitas kekaryaan mereka. 

Toton dan Lulu Lutfi Labibi, misalnya. Dalam kesempatan yang berbeda keduanya menceritakan bagaimana Dewi Fashion Knights adalah cita-cita dan target yang mereka tempelkan lekat-lekat di kepala. Keduanya lantas berhasil mewujudkannya. 

Sementara bagi khalayak umum, Dewi Fashion Knights adalah salah satu platform dalam ekosistem fashion Indonesia. Baik itu sebagai kurator maupun sebagai penghubung antara visi kreatif desainer dengan realita posisi audiens. 

Tidak jarang tema yang dilemparkan Dewi Fashion Knights merupakan reality check bagi para desainer. Sering pula tema yang diberikan merupakan pemicu bagi desainer untuk membuat karya yang berbeda—lebih eksperimental, lebih idealis, lebih punya rasa. 

Sebagaimana yang Adrian Gan alami ketika ia memutuskan keluar dari zona nyamannya dalam proses pembuatan koleksi DFK 2019. Mengadaptasi pakaian adat Karo, ia mengolah kain-kain ulos lawas menjadi koleksi gaun tradisional yang eksperimental. Sederhana, lokal, modern, dan jauh dari kata klise. 

Dari tahun ke tahun Dewi Fashion Knights membuktikan panggungnya bukanlah tentang pesta glamor bagi para insan fashion. Alih-alih, ia merupakan sebuah ruang eksperimental bagi para desainer terbaik untuk terus mendorong batas-batas kreativitas.