News

Wajah Fashion Indonesia Pasca Pandemi

Monday, 1 Nov 2021

by Shuliya Ratanavara

Pandemi memberatkan kondisi banyak orang. Semua orang menghadapi tantangan yang sama, tidak terkecuali bagi pelaku bisnis fashion. Benar adanya kebanyakan brand dan desainer mengalami pukulan berat sepanjang pandemi. Namun, ada beberapa yang justru mendapatkan momentumnya.

Untuk itu Jakarta Fashion Week berbincang dengan beberapa pelaku bisnis fashion tanah air mengenai tantangan dan perspektif yang mereka dapatkan selama pandemi. Mereka mengungkapkan bagaimana visi mereka berevolusi selama pandemi dan memilah mana yang penting untuk bisnis, terutama untuk diri mereka sendiri sebagai kreator. 

Naik, Turun, dan Lika-liku di Antaranya
Brand SARE Studio adalah salah satu anomali dalam ekosistem fashion Indonesia di tengah pandemi. Saat orang-orang dipaksa untuk menunda kehidupan dan berdiam diri di rumah, SARE Studio punya tawaran yang sempurna bagi banyak khalayak: piyama nyaman dan bergaya. 

Begitulah nama SARE Studio mendapatkan momentumnya untuk meroket di masa pandemi. “Sekarang orang jadi lebih menghargai loungewear dan sleepwear. Jadi apa yang kita gembar-gemborkan saat sebelum pandemi lebih masuk akal. Because it affects our well-being,” jelas Putri Andam Dewi (Andam), Co-Founder SARE Studio, lewat sambungan video call.

Semangat SARE Studio tentang wellness memang jadi satu pesan utama saat mereka memasarkan produk piyama. Kedua co-founders, Cempaka Asriani dan Andam, percaya tidur yang berkualitas berdampak baik bagi kesehatan holistik. Bukan hanya untuk tubuh fisik, tetapi juga keadaan mental seseorang. 
Pesan tersebut rupanya benar-benar mengena bagi khalayak di situasi pandemi yang serba tak pasti dan penuh tekanan. After all, we all need a good sleep indeedespecially in times like this. 

Kami tidak asal menggunakan kata ‘meroket’ untuk mendeskripsikan perkembangan bisnis SARE Studio. Andam menyatakan peningkatan penjualan SARE Studio di awal masa pandemi mencapai empat kali lipat. Peningkatan itu terus bertahan bahkan sampai hari ini, meskipun angkanya sudah tak lagi fantastis. “Setelah itu stabil pada 15%-20% dari 2020 ke 2021,” kata Andam.

Sementara cerita yang lebih awam kita dengar tentang anjloknya bisnis dialami oleh TOTON dan retailer besar seperti MAP Fashion. “Sebelum pandemi, [TOTON] lagi gencar-gencarnya [jualan] untuk pasar luar. Seperti awal mula TOTON berdiri,” jelas Toton Januar. Sampai Januari 2020, TOTON masih sempat membuka showroom di Paris. “Pulang dari Paris itu langsung full blown pandemic.”

Dampaknya langsung begitu terasa. Sebagian besar pesanan yang masuk sejak sebelum pandemi dibatalkan. “Imbasnya jadi kencang sekali di awal tahun 2020 itu,” katanya. Sejak awal berdiri hingga hari ini Toton memang lebih dikenal sebagai desainer pakaian custom made, sesuatu yang sifatnya occasional ketimbang pakaian sehari-hari. 

Positioning tersebut tentu tidak menguntungkan bagi TOTON di masa ketika berbagai macam acara dibatalkan. Pembatasan di sana-sini membuat pos pengeluaran customer menjadi lebih ketat. Dari keadaan terimpit itulah akhirnya Toton Januar dan timnya kembali mengevaluasi dan merumuskan tujuan yang menjadi esensi brand ini, serta siasat apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi situasi. 

Salah satu yang pertama ia lakukan adalah membuka akses langsung ke customer. Sebuah perubahan besar bagi TOTON yang selama ini melakukan bisnisnya secara B2B lewat stockist atau retailer partner.
Tantangan yang serupa juga dialami oleh grup retailer fashion terbesar di Indonesia, MAP Fashion. Penutupan tempat-tempat publik, termasuk pusat perbelanjaan, selama masa pandemi tentu saja menjadi pukulan besar bagi grup yang 90% bisnisnya bersandar pada toko fisik. “Saat ini kami masih berada di tahap pemulihan dan meyakini bahwa kondisi akan terus membaik menuju penghujung tahun ini,” jelas Riri Setyati, General Manager Marketing MAP Fashion lewat surel. 

Seperti TOTON, MAP Fashion juga merancang serangkaian strategi untuk menjemput bola kepada customer mereka. “Sebagai pelaku bisnis offline, tantangan awal di masa pandemi adalah bagaimana kami bisa tetap menjalankan bisnis ketika semua toko kami tutup. Apa yang dilakukan untuk mengatasinya? Melakukan perubahan pelayanan dari offline menjadi online,” kata Riri

Begitulah akhirnya media sosial, website khusus brand, email, dan WhatsApp adalah empat kanal utama bagi MAP Fashion untuk menjangkau konsumen. Platform digital memang kemudian menjadi alternatif untuk belanja di kala pandemi. 

Laporan “State of Fashion 2021” oleh McKinsey dan Business of Fashion mencanangkan “digital sprint” sebagai salah satu tren utama perubahan industri fashion dunia. Di Indonesia, perubahan ini segera direspons bahkan di awal masa pandemi oleh sejumlah penyelenggara bazar dan retailer.

Toko retail lokal The Goods Dept meluncurkan aplikasinya pada 2020. Acara-acara besar yang mereka buat seperti Brightspot Market pun ditawarkan dengan pengalaman berbeda lewat acara virtualnya. Ada pula penyelenggara bazar yang kemudian bergandeng tangan dengan e-commerce untuk memindahkan acara offline mereka menjadi online seperti Semasa. 

Membangun Intimasi Lewat Kanal Digital
Lantas, apakah perpindahan ke platform digital sekadar perihal bottom line? Bagi SARE Studio, jawabannya tidak. Justru bagi mereka ini adalah saatnya SARE Studio bisa membangun komunitas lewat platform mereka sendiri. Itu alasan salah satu hal yang dilakukan SARE Studio di awal masa pandemi adalah melakukan migrasi website. Cempaka dan Andam menegaskan pentingnya website bagi ekosistem bisnis SARE Studio—alih-alih bergantung pada platform e-commerce. Yang menarik dari strategi SARE Studio adalah bagaimana mereka memosisikan website sebagai pusat semesta cerita dan komunitas mereka: dua kekuatan utama SARE Studio. 
Strategi itu yang membuat keduanya bersedia berinvestasi cukup besar untuk meng-upgrade kualitas website mereka. “Sebenarnya gonta-ganti website itu enggak murah. Migrasinya juga risky. [Kami] berisiko kehilangan customer juga kalau sampai experience mereka jelek,” jelas Andam.

Namun, risiko-risiko itu dinilai sepadan dengan kemungkinan pemasukan yang bisa mereka dapatkan. Dari sisi bisnis, mereka jadi tak begitu dipusingkan dengan platform fee atau aturan main lain yang ditetapkan oleh platform e-commerce. Sementara dari sisi branding, mereka lebih leluasa mengeksplorasi cerita yang selama ini jadi kekuatan utama brand yang berdiri sejak 2015 itu. Terakhir, keberadaan website sendiri juga memberikan mereka kontrol untuk memberikan user experience terbaik—baik itu secara teknis maupun layanan.

Kedua co-founder SARE Studio memandang user experience sebagai pengalaman istimewa bagi konsumen. Pengalaman yang akhirnya membentuk keintiman tersendiri antara mereka dan pembelinya. Atas pandangan itulah maka SARE Studio benar-benar memikirkan saranan pendukung website mereka, salah satunya lewat layanan customer service yang solutif dan akrab. "[Dari proses] belajar kami, ada banyak customer yang mature yang bahkan enggak bisa operating marketplace dan mereka hooked sama CS kami,  padahal mereka spending-nya besar,” jelas Andam.

Sementara TOTON membangun keintiman itu dengan cara yang sedikit berbeda. Selain meningkatkan komunikasi produk lewat website mereka. TOTON juga melakukannya lewat proses kolaborasi dengan ready-to-wear brand serta retailer. “Itu kuncinya juga,” katanya.

Salah satunya yang TOTON lakukan adalaj kolaborasi bersama brand lokal IKYK untuk koleksi Idul Fitri dan kolaborasi berkelanjutan dengan KOJO. Selain itu mereka juga sempat meluncurkan koleksi kapsul bersama Papillon Marketplace. “It’s a unique proposition. Jadi kami masuk dengan koleksi kapsul yang coba disesuaikan dengan kebutuhan orang di situ,” jelas Toton. 
Kolaborasi yang berjalan selama satu bulan itu terbukti membuahkan hasil yang cukup lumayan. “Proyek-proyek seperti ini enggak cuma menghidupkan bisnis, tapi juga menjaga excitement [tim], dan hubungan dengan customer jadi lebih ada sparks-nya.”

Atas alasan itulah TOTON mempertimbangkan kolaborasi sebagai salah satu strategi yang akan banyak dilakukan di masa yang akan datang. Apalagi mereka melihat hal ini sebagai salah satu cara untuk “membumikan” brand mereka, terutama untuk menjangkau konsumen yang lebih luas, lebih muda, dan latar yang lebih beragam. Sekarang, TOTON tengah menggodok koleksi kolaborasi yang sifatnya lebih massal.

Antara Kenyamanan dan Eskapisme
Pendekatan kolaboratif TOTON sebagai high end brand ini sebetulnya merupakan respons atas tren penurunan daya beli dan casualization pasca-pandemi. Kebiasaan orang selama hampir dua tahun terakhir di rumah membuat sebagian besar orang mengutamakan kenyamanan. “Kami melihat kecenderungan itu dari awal pandemi. Semua orang mencari comfort,” ujar Toton. Baginya itu bukan hanya karena memang cocok dengan gaya hidup santai di rumah, tetapi juga ada aspek psikologis bagi yang memakainya. Tentu saja, hal itu akhirnya memengaruhi evolusi desain TOTON selama pandemi.

“Jadi dari TOTON, [kami] lebih merilekskan style-nya dan kami buat lebih fleksibel. Ada bagian-bagian yang bisa dilepas lalu jadinya bisa lebih kasual. Kemudian juga accessorizing,” jelas TOTON. Eksplorasi desain baru TOTON ini misalnya ia tampilkan dalam koleksi untuk gelaran Dewi Fashion Knights 2020 silam.
Apakah kemudian TOTON mengkhianati DNA brand mereka? Hasil eksplorasinya di DFK 2020, serta berbagai koleksi kolaborasi mereka menunjukkan tidak demikian. “Saya mencoba untuk di tengah-tengah. Balik lagi, kita mau merayakan kehidupan lagi, tetapi dengan cara apa?” katanya.

Ia mengambil contoh koleksi kolaborasi mereka dengan Papillon Marketplace. “Itu sebetulnya koleksi kasual, tapi tetap delicate. Banyak lace, banyak detail, tetapi dengan bahan-bahan yang nyaman,” jelasnya. Sensibilitas menjadi kuncinya untuk merancang pakaian yang relevan bagi customer, sembari tetap senada dengan degup kehidupan di lingkaran yang lebih luas. Apalagi kini kita secara kolektif memang berada dalam zona abu-abu. Seperti sudah diambang kebebasan, tetapi masih tetap bersiaga untuk kemungkinan terburuk. 

Bagi SARE Studio, zona abu-abu ini berarti tantangan baru untuk membentuk imajinasi customer akan produk mereka, terutama lewat pesan content marketing. Pelonggaran aturan untuk bepergian membuat konten-konten keseharian di rumah dan kenyamanan piyama mereka tak lagi mengundang traksi sebaik dulu. “Mereka [customer] longing topik-topik liburan. [Mereka] butuh pelarian, kayak ketika kita bikin konten yang outdoor, dengan resort approach itu mereka seperti bisa ikut keluar bersama kita,” jelas Cempaka. 

Komunitas, bukan Konsumen
Pergeseran pesan content marketing itu merupakan salah satu dari begitu banyak perubahan yang dilakukan SARE Studio dalam merespons geliat customer. Sejak awal didirikan, SARE Studio memang menjadikan suara, imajinasi, serta kebutuhan customer sebagai pandu utama. Itu mengapa ketika ditanya tentang prioritas pengeluaran investasi mereka, jawabannya adalah pemenuhan kebutuhan konsumen.

We are here because of them, we grow with them. Dari [hanya] punya koleksi perempuan, lalu punya koleksi menswear dan anak-anak itu, ya [idenya] dari mereka,” kata Cempaka. Bukan hanya itu, banyak layanan SARE Studio yang ada sekarang merupakan respons terhadap permintaan customer. Entah itu gifting package, jasa bordir, dan sebagainya. 

Bahwa jasa-jasa tambahan tersebut mendatangkan arus pemasukan baru bagi bisnisnya adalah satu hal. Namun, alasan penggerak SARE Studio melakukannya adalah untuk menjawab kebutuhan konsumen, dengan kata lain bentuk loyalitas kepada komunitas yang terus mereka bangun. “That’s who we are. To provide their needs, to satisfy them.”

Fokus terhadap komunitas juga dimiliki TOTON. Bedanya, TOTON terlebih dulu membangun sense of community itu dalam tim internal mereka. Setelah merefleksikan seluruh proses brand yang ia bangun hampir satu dekade lalu, ia menyadari investasi terbesarnya adalah ke tim yang membantunya membangun itu semua.

“Saya selalu merasa penting berinvestasi ke orang. Kita selalu bisa beli mesin, beli alat. Tapi untuk punya chemistry, to have that feel kayak we are on the same team, we are family… Itu, kan, susah,” ujar Toton. 

Bagi sebagian orang, mungkin investasi itu tidak terdengar canggih. Namun, bagi Toton itu adalah hal yang fundamental. Terutama karena kedekatan dengan tim bisa membangun passion yang sama untuk membentuk suara sebuah brand yang bisa berkontribusi terhadap komunitas sekitarnya. “We need to be a voice,” kata Toton. Suara yang seperti apa? Tentu saja suara yang mencerminkan orang-orang di dalamnya. Meskipun ia tak pernah mengklaim jargon apa pun untuk brand ini. Semua menurutnya harus berjalan secara organik. 

Kini tim TOTON tengah fokus berinovasi dengan daur ulang material, sesuatu yang sebenarnya sudah lama dilakukan TOTON lewat koleksi denim mereka. Isu lingkungan memang menjadi salah satu concern bagi TOTON. Namun, itu bukan satu-satunya. Pada akhirnya, bagi TOTON ke depannya adalah tentang bagaimana menghasilkan produk yang lebih baik dengan nilai yang lebih baik lagi. “At the end of the day, it’s about how we find better ways to create a better life in a better future,” tutup TOTON.

Foto: Jakarta Fashion Week, Arsip Toton x IKYK, Arsip SARE Studio