News

Nostalgia Vinora Ng

Wednesday, 10 Jul 2013

by JFW


 â€œSelamat, Anda terpilih untuk menggelar show di acara final Lomba Perancang Mode (LPM) femina di Jakarta Fashion Week 2011 ini,“ begitu suara di ponsel saya. Sepenggal kalimat sederhana ini  seolah bisa membangunkan rasa antusias, senang, dan bangga. Semua campur aduk jadi satu. Ada sedikit rasa haru juga, sebab baru kemarin rasanya saya bolak-balik memeriksa jahitan semua busana lomba, sebelum ‘dibantai’ oleh pertanyaan juri saat final LPM di bulan November tahun 2009. Dan, sepertinya baru kemarin juga saya berusaha sekuat tenaga untuk melek, demi selesainya timbunan pe-er tentang sejarah fashion di FIDM  (Fashion Institute of Design And Merchandising)  di Los Angeles (LA). Dalam hitungan detik, semua pengalaman manis di LA seolah berkelebatan di depan mata.
 
 Kampus yang Membuat Betah
Duduk di pesawat selama belasan jam ditambah kurangnya tidur, membuat saya harus menahan kantuk saat menggeret koper di Bandara LAX. Sepertinya, kopi yang saya minum di pesawat tadi tidak membuahkan hasil. Tapi, senyum tetap terkembang karena saya senang  perjalanan kali ini  saya tidak perlu membawa kamus.
Langsung menuju ke FIDM di Downtown Los Angeles, saya merasa bersemangat atas beasiswa yang diberikan oleh femina ini. Begitu sampai, saya menjadi khawatir karena pakaian yang saya kenakan ‘terlalu kasual’  untuk bertemu dengan FIDM International Director, Lanie Denslow, yang selama ini suaranya hanya saya dengar lewat telepon.
           
Wanita ramah ini menjelaskan dengan singkat tentang FIDM. Dari sistem kurikulum kampus, fasilitas, hingga tenaga pengajar yang membuat kampus ini diminati oleh mereka yang ingin menempa passion-nya di industri fashion. Ia juga menaruh harapan besar agar saya bisa berhasil dan mempergunakan waktu saya selama di sini dengan sebaik-baiknya untuk memperdalam ilmu tentang fashion.
           
Pada hari orientasi, berbeda dengan murid lainnya, saya mendapatkan keistimewaan untuk dikenalkan dengan beberapa tenaga pengajar di kampus FIDM dan diajak tur keliling kampus. Bangunan kampus yang modern ditambah dengan taman yang asri serta pemandangan hijau, memberi rasa teduh di dalam hati. Saya langsung memutuskan akan merasa betah dengan kampus baru ini. Di akhir  tur, saya juga  dipertemukan dengan
Dawn-Marie Forsyth, yang menjabat sebagai ketua jurusan fashion design.  Ia dengan senang hati menjawab semua pertanyaan saya soal kampus dan seputar kehidupan mahasiswa.  Dan, bahkan ia sendiri yang membantu saya memilih jurusan dan pelajaran yang sesuai dengan minat saya.
           
Agak berbeda dari  prediksi Dawn sebelumnya, yang mengira saya akan berkonsentrasi pada kelas mendesain, saya memilih kelas sejarah mode. Karena sangat menyukai dan mengikuti sejarah mode, saya memutuskan untuk mengambil kelas History of Costume. Sejak dulu saya memendam keinginan untuk mendalami sejarah busana dari era purba, renaissance, hingga periode modern. Di kelas ini saya tidak hanya belajar detail pakaiannya, mengapa mereka memakainya, tetapi juga apa yang terjadi pada zaman itu.
 
 
Buku, Pe-er, dan Jalan-Jalan
Namanya juga belajar tentang sejarah, buku-buku tebal menjadi sahabat saya di kamar asrama, di kelas, di perpustakaan, hingga di kafetaria. Survey of Western Art adalah kelas favorit. Pengajarnya adalah seorang ethnographer bernama Javier Cordon. Ethnographer adalah seorang yang ahli dalam sejarah kultur, asal usul budaya dan perkembangannya. Melalui Cordon, satu per satu informasi yang saya peroleh setengah-setengah ketika kuliah dahulu, menjadi lebih lengkap dan bulat. Beberapa riset yang membingungkan seputar mode yang saya lakukan selama ini, menjadi jelas dengan bimbingan Cordon. Melalui Cordon juga saya diperkenalkan lebih dalam tentang sejarah budaya Barat yang beberapa belum pernah diekspos sebelumnya.
           
Senangnya mengambil kuliah sejarah adalah saya juga jadi lebih antusias dan bisa lebih menikmati ketika kelas mengadakan kunjungan ke LACMA (Los Angeles County Museum of Arts). Di sini terdapat ribuan jenis artefak dari Afrika, Amerika kuno, dan Cina. Ada juga seni patung Eropa, artefak dari Mesir, hingga evolusi fotografi serta karya seni pop art dan modern art.  Dan, tentu saja, favorit saya adalah seni tekstil dan kostum.
           
Selain LACMA, saya juga berkesempatan mengunjungi The Getty. Tak sia-sia mengerjakan setumpuk pe-er dari dosen setiap minggunya. Ketika mengunjungi The Getty, saya jadi lebih familiar dan lebih memiliki ‘kedekatan’ dengan koleksi seni dari abad ke-19. Di antaranya adalah lukisan dan karya seni dari Eropa, manuskrip, patung, dan seni dekoratif. Banyak juga fotografi Eropa dan Amerika dari masa lampau.
           
Tinggal di Amerika, tidak afdal bila tidak ‘larut’ dalam serunya budaya kontemporer lokal. Saat perayaan Halloween di Los Angeles, saya yakin betul bahwa Amerika memang sangat memuja pop culture tahun 1930-an, saat Hollywood masih disebut Hollywoodland. Hal ini terlihat dari  atmosfer tahun ’30-an yang terasa kental. Baik dari dekor maupun kostum yang dikenakan orang sepanjang jalan. Berjalan di Hollywood boulevard, saya bertemu dengan 4 Lady Gaga, 2 Snooki Jersey Shore, dan sederet tokoh dari film Hollywood lainnya.
           
Sebagai ikon fashion baru di Amerika, Lady Gaga juga sering kali menjadi topik yang dibahas di kelas Fashion Seminar yang banyak membahas tentang  filosofi fashion. Mengikuti bagaimana seorang  ikon fashion seperti Madonna berevolusi, membuat kelas ini sangat menarik.

Selain itu, saya juga mengambil kelas Textile Science. Kelas ini penuh dengan aneka macam pe-er dan paper yang  tidak ada  habisnya.  Di sini saya berkenalan dengan Erik Soto, orang Meksiko-Amerika, yang menjadi teman baik saya di sana. Ketika pertama kali berkenalan, tak disangka Erik sudah tahu apa arti nama belakangnya dalam bahasa Indonesia.

Masih seputar makanan, saya juga berkenalan dengan Aaron Sison, yang akhirnya menjadi sahabat dalam bertualang kuliner. Belum afdal rasanya bila tidak mencoba makanan paling populer di Amerika. Apa lagi kalau bukan fast food. Dari In-N-Out Burger, Jack in the Box  dan Johnny Rockets, hingga burrito seberat 3 kg di restoran Mexico El Tepeyac.
           
Yang akan selalu saya rindukan setiap bulan adalah hari Kamis minggu kedua. Di hari ini hampir semua galeri di Downtown LA dibuka untuk umum. Acara ini disebut dengan Downtown LA Artwalk. Tidak hanya live art dan musik di jalanan, tapi semua orang juga bisa menikmati lukisan yang dipamerkan di area parkir. Semua masyarakat urban penikmat seni tumpah ruah ke jalanan, mengakibatkan kemacetan yang panjang.
           
Tiga bulan menimba ilmu di FIDM serasa tiga hari. Tak disangka, ada rasa sedih ketika harus meninggalkan LA. Apalagi setelah di Jakarta, saya merindukan dinamisnya LA yang memberikan letupan inspirasi ke dalam diri saya. Terima kasih Femina Group atas pengalaman yang memperkaya petualangan hidup saya.

Majalah Femina Edisi 31/2011