News

Kisah Lasem Di Tangan Para Jawara BINUS Northumbia School of Design

Tuesday, 23 Oct 2018

by Jakarta Fashion Week

Tahun ini menandai tahun ketujuh untuk partisipasi Sekolah Desain BINUS Northumbia di Jakarta Fashion Week. Setiap tahun, mereka mengambil tema yang menampilkan budaya dan tradisi kota yang kaya di Indonesia. Tahun ini, mereka menghadirkan koleksi berjudul "The Untold Story: Lasem Revealed", dengan 6 lini busana siap pakai dari para pelajar Binus Northumbia.
Label-label ini adalah Arka, Oemnja, VOD, Hanyutan, Allawn, dan Recko. Setiap lini busana menyajikan koleksi yang terinspirasi oleh kota Lasem yang beraneka ragam dalam budaya dan filsafat.

 
Yang pertama tampil adalah label Arka oleh Karin Wijaya dan Ginza Setiawan. Nama "Arka" diambil dari bahasa Jepang, mewakili harapan yang bisa menjadi cahaya penuntun. Konteks nama dan logo label ini menyampaikan landasan yang kokoh bagi kedua desainer, yaitu untuk menemukan detail yang diabaikan dan untuk memberdayakan budaya yang terlupakan.

Koleksi Arka terinspirasi oleh akulturasi pengaruh Cina dan Jawa di kota Lasem. Batik merah cerah dengan nada gelap mendominasi koleksi, disertai dengan huruf Cina yang dicetak. Memilih siluet panjang untuk sebagian besar koleksi, koleksi memamerkan batik di lapisan depan dan dalam.
 
Oemnja oleh Ivy Pang dan Devina Cools tampil tepat setelahnya. Oemnja singkatan dari "Oemah Njonja", yang adalah bahasa Jawa untuk "Rumah Nyonya". Merek ini dibuat sebagai penghargaan untuk semua wanita yang menjalani hidup mereka yang tertindas, dan mereka yang memiliki perjalanan hidup yang berat.

Memilih tosca, navy, dan pink untuk palet warna, koleksi ini menghadirkan siluet feminin dengan twist yang menggemaskan. Getaran yang unik dan retro dirasakan melalui pilihan warna dengan patch kartun yang menggambarkan merek klasik dari masa lalu.

VOD mengambil nama dari kata Belanda yang berarti rusak atau membuat jalur ke landasan. Koleksi ini berfokus pada sejarah Lasem, dengan penekanan pada arsitektur dan konsumsi opium pada masa lampau. Dengan nada warna bumi, VOD menggunakan batik untuk menonjolkan lengan, dan menonjolkan pinggiran bertekstur di bagian belakang pakaian.
 
Setelah itu, Hanyutan oleh Nabila Kaulika dan Cynthia Halim membawakan koleksi "Saka 1335" untuk mewakili bentrokan antara peninggalan asli Indonesia dan Cina-Indonesia. Hanyutan berasal dari kata "hanyut" yang merujuk secara khusus terhadap aliran ego manusia.

Getaran gelap dan grunge dari koleksi ini diungkapkan dengan jelas melalui aksesori rantai. Palet warna gelap dicampur dengan batik merah dan bordir kebaya. Koleksi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kita dapat mewarisi dan menyesuaikan kedua budaya tanpa perang, kekerasan, dan diskriminasi lain.
 
Garis mode keempat adalah Allawn oleh Katarina Laurensia dan Chelvia Febriana. Nama Allawn berasal dari kata Arab yang berarti warna. Merek menunjukkan getaran bermain melalui pakaian berwarna-warni dengan sentuhan bordir dan sablon.

Koleksi Allawn S / S 19 terinspirasi oleh akulturasi perkembangan Tionghoa dan Islam di Lasem. Oleh karena itu, koleksi dikombinasikan pakaian sederhana dengan siluet Cina. Dengan warna funky seperti hijau, kuning, dan pink, sulaman dan syal terinspirasi oleh kota Lasem itu sendiri.
 
Yang terakhir untuk tampil adalah Racko oleh Anya Annastasya dan Sintia Agustine. Racko bertujuan untuk menunjukkan semacam rekonstruksi mode. Menggunakan denim di banyak bagian dan sebagai tambalan, merek mencoba membuktikan bahwa bahkan hal-hal kecil pun bisa menjadi bagian dari sesuatu yang besar.

Menggunakan konsep batik pagi-sore, koleksi dengan fitur sisi reversibel ini dapat dipakai dalam gaya yang berbeda. Gaya leher tinggi dan potongan cut-out membuat koleksi batik ini terlihat lebih urban dan modern. (ELV/ZGY)